Kamis, 19 September 2013

Sepertiga Malam Terakhir

Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan saya masih tetap terjaga. Tiga jam lagi genap satu hari mata saya terjaga. Entah mengapa saya lebih tertarik untuk menikmati waktu seperti ini daripada siang hari. Bukan berarti saya membenci matahari, namun ada sesuatu di saat-saat seperti ini yang membuat saya lebih merasakan nikmatnya menghirup oksigen.

Memang semenjak saya merantau ke Jakarta untuk mengikuti pendidikan kuliah, saya sering terjaga pada saat malam hari dan terlelap pada siang hari. Berbeda dengan kehidupan di desa kelahiran saya. Mungkin karena lingkungan disana yang sangat sepi sehingga pada pukul 8 malam saja jalanan sudah jarang dilalui orang-orang. Rumah saya mungkin terlalu nyaman untuk dinikmati dengan tidur pukul 8 malam hingga waktu subuh tiba.

Apa ini karena penyakit atau mungkin karena kebiasaan, saya tidak bisa begitu saja terlelap dengan cepat pada malam hari, meskipun terkadang jam 7 malam saja saya sudah tertidur pulas. Namun terlepas dari itu saya sangat menyukai waktu ini. Waktu disaat para kelelawar mencari makan, saat jalanan Jakarta layak disebut ideal karena tidak ada kemacetan, saat orang-orang terbangun untuk melaksanakan shalat tahajjud. Suasananya damai dan tenteram.

Sedikit terlintas di pikiran bahwa inilah yang ingin saya temukan dalam hidup yang sudah melewati umur 22 tahun. Kedamaian dan ketenteraman. Mungkin dua kata tersebut memiliki arti yang sangat luas sehingga saya tidak bisa menafsirkannya dalam bentuk huruf-huruf yang tersusun rapi. Jika dunia bisa damai, mengapa orang-orang terus berusaha menciptakan peristiwa-peristiwa yang mengikis kedamaian itu sendiri. Jika dunia bisa tenteram, mengapa harus ada pihak yang selalu berusaha untuk menciptakan kekacauan. Apa memang kedamaian dan ketentraman harus hilang dari bumi, padahal Sang Pencipta menciptakan bumi ini damai dan tenteram pada saat awal diciptakan.

Mungkin ini sekedar pendapat dari saya mengapa saat-saat seperti terasa damai dan tenteram. Manusia yang mempunyai kebiasaan buruk pada siang hari terlelap dalam tidurnya, sehingga tidak ada sesuatu yang terucap mengotori suasana. Manusia yang tidak mempunyai kepentingan selain pulang ke rumah secepat mungkin untuk sekedar melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Manusia yang sedang berinteraksi dengan Allah.

Bagi saya saat-saat seperti inilah yang membuat saya tersadar bahwa pada hakikatnya setiap manusia memiliki kebaikan dalam hatinya. Tidak ada manusia yang berpikiran buruk saat mereka menutup mata dan sejenak meninggalkan alam dunia menuju alam mimpi. Lihat saja raut wajah orang-orang di sekitar anda saat mereka tertidur.

Bukan berarti saya menyarankan untuk tidak tertidur hingga fajar tiba, karena kondisi seperti ini tidak disarankan untuk kesehatan. Namun juga bukan berarti saya mengabaikan kesehatan. Saya hanya ingin sedikit merasakan sekali lagi bagaimana rasanya damai dan tenteram yang mungkin pernah saya alami di dalam kandungan ibu. Dengan begitu mungkin saja saya akan tersadar bahwa hidup tidak perlu diubah menjadi perihal yang kacau dan kisruh. Dunia hanya butuh kedamaian. Manusia hanya butuh ketenteraman. Entah bagaimana caranya, setiap orang punya cara masing-masing untuk itu. Dan inilah cara saya.

Kamis, 04 April 2013

Ala Marlon Titre

Pada hari Selasa 2 April 2013 kemarin, saya dan teman-teman datang ke sebuah acara musik di daerah Rasuna Said, tepatnya di Erasmus Huis, Jakarta. Gitaris dan komponis serba bisa, Marlon Titre menampilkan persembahan yang luar biasa malam itu. Konser ini merupakan kerjasama antara Erasmus Huis dengan Institut Kesenian Jakarta. Penampilan gitaris asal Aruba ini begitu mengesankan bagi seluruh penonton yang menghadiri acara tersebut, terutama bagi saya karena ini pertama kalinya saya melihat langsung konser gitar klasik sepanjang hidup saya.

Marlon Titre

Minggu, 09 Oktober 2011

Begitu Cerianya Anak Ojek Payung

Saat itu saya sedang berjalan menuju suatu tempat karena ada sesuatu yang ingin saya beli. Sudah malam dan hujan turun dengan lebatnya. Tiba-tiba seorang anak kecil dengan pakaian basah kuyup datang menghampiri saya. Dia langsung memberikan payung miliknya, menuntunku jalan ketempat yang akan saya datangi. Mungkin karena melihat saya yang kebingungan jadi dia tahu kalau saya tak membawa payung. Ditengah jalan, saya iseng bertanya pada anak itu, berapa ongkos ojek payungnya. Dengan senyum-senyum dia berkata "terserah masnya aja". Dia terus berjalan mengiringi saya, tanpa mau berteduh dibawah payung yang saya pakai. Terlihat dia sangat menikmati derasnya hujan malam itu. Sampai di tujuan, saya memberi selembar uang yang saya kira cukup sebagai balas jasa yang dia berikan. Setelah itu dia pergi menemui teman-temannya. Terlihat senyum diwajahnya, lebih dari senyum yang dia tampilkan saat menemani saya berjalan tadi. Teman-temannya juga menyambut dia dengan riang. Saya langsung pergi.